KRI Oswald Siahaan (354) merupakan Perusak Kawal Berpeluru Kendali. Dinamai Oswald Siahaan mengambil nama dari seorang anggota TNI AL yang gugur pada
saat pertempuran Teluk Sibolga..
KRI Oswald Siahaan merupakan kapal
fregat bekas pakai AL Belanda (HMNLS Isaac Sweers F805) yang kemudian dibeli oleh Indonesia. Dibangun tahun
1967 oleh Nederlandse Dok en Scheepsbouw Mij, Amsterdam, Belanda.
Bertugas sebagai armada patroli sekaligus armada pemukul dengan kemampuan
anti kapal permukaan, anti kapal selam dan anti pesawat udara.
Termasuk dalam kelas Ahmad Yani bersama KRI Oswald Siahaan antara lain KRI Ahmad Yani (351), KRI Slamet Riyadi (352), KRI Yos Sudarso (353) KRI Abdul Halim
Perdana Kusuma (355)
dan KRI Karel Satsuit Tubun (356).
Data Teknis
KRI Oswald Siahaan memiliki berat 2,940 ton. Dengan dimensi 113,42 meter x
12,51 meter x 4,57 meter. Ditenagai oleh mesin diesel 2 x SEMT Pielstick
12PA6B, Renk SWUF 98 gearboxes yang mampu menghasilkan tenaga 11800hp setiap
mesinnya. Repowering mesin dilakukan pada tahun 2006 oleh PT PAL untuk
menggantikan tenaga mesinnya yang semula menggunakan mesin boiler.
Persenjataan
KRI Oswald Siahaan dipersenjatai dengan berbagai jenis persenjataan modern
untuk mengawal wilayah kedaulatan
RI Termasuk
diantaranya adalah :
- 4 Peluru Kemdali Permukaan-ke-permukaan P-800 Oniks atau dikenal dengan rudal Yakhont dengan jangkauan maksimum 300 Km , berkecepatan 2,5 mach, dengan sistem peluncur vertikal (VLS) dengan hulu ledak seberat 300 Kg.
- 4 Peluru kendali permukaan-ke-udara Mistral dalam peluncur Simbad laras ganda sebagai pertahanan anti serangan udara. Jangkauan efektif 4 Km (2,2 mil laut), berpemandu infra merah dengan hulu ledak 3 Kg. Berkemampuan anti pesawat udara, helikopter dan rudal.
- 1 Meriam OTO-Melara 76/62 compact berkaliber 76mm (3 inchi) dengan kecepatan tembakan 85 rpm, jangkauan 16 Km untuk target permukaan dan 12 Km untuk target udara.
- 2 Senapan mesin 12.7mm
- 12 Torpedo Honeywell Mk. 46, berpeluncur tabung Mk. 32 (324mm, 3 tabung) dengan jangkauan 11 Km kecepatan 40 knot dan hulu ledak 44 kg. Berkemampuan anti kapal selam dan kapal permukaan.
Sensor dan elektronis
KRI Oswald Siahaan diperlengkapi radar LW-03 2-D air
search, sonar PHS-32. Juga diperlengkapi dengan kontrol
penembakan (fire control) M-44 SAM control serta perangkat perang
elektronik UA-8/9 intercept. Sebagai pertahanan diri mempunyai 2
peluncur decoy RL.
SEJARAH GUGURNYA OSWALD SIAHAAN DALAM PERTEMPURAN DI TELUK
SIBOLGA.
Setelah menerima peralihan kendali keamanan di Indonesia
dari Sekutu (Inggris), Belanda kemudian membentuk Pemerintahan Sipil
Hindia-Belanda (NICA/ Netherlands Indie Civil Administration). NICA menempuh
dua jalur kebijakan di Indonesia, yaitu diplomatik dan militer. Di jalur
diplomatik, NICA menggelar perundingan Linggadjati (10-15 November 1946),
dimana salah satu klausulnya Belanda mengakui wilayah kedaulatan Indonesia yang
meliputi Pulau Jawa, Sumatera dan Madura. Walau secara de jure Belanda
telah mengakui kedaulatan Indonesia, namun faktanya kekuatan militernya masih
bertahan di Jawa, Sumatera dan Madura, serta sering melakukan tindakan
provokasi. Tidak hanya itu, di beberapa daerah Belanda kerap melakukan aksi
intervensi di wilayah Republik Indonesia, yang antara lain terjadi di perairan
Teluk Sibolga. Sementara itu di sisi lain, di pihak Indonesia pun banyak
kalangan yang tidak menyetujui hasil Perjanjian Linggadjati yang dinilai
sebagai pengingkaran terhadap bentuk Negara Kesatuan RI, yang telah disepakati
meliputi seluruh wilayah ex-Hindia-Belanda. Sikap pro-kontra yang terjadi di
kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, pada akhirnya berbuntut agresi
militer pada bulan Juli 1947 yang dilancarkan oleh militer Belanda. Insiden
pelanggaran wilayah kedaulatan RI di perairan Teluk Sibolga oleh kapal perang
AL Kerajaan Belanda, sesungguhnya dilandasi oleh kebijakan Belanda untuk
melemahkan kekuatan sosial, politik, ekonomi dan militer Indonesia. Untuk
itulah, Belanda melakukan blokade di laut, darat dan udara, serta
mengintimidasi dan menghalangi berbagai arus lalu-lintas perekonomian yang
menuju atau bertolak dari Indonesia ke luar-negeri. Belanda menerapkan
peraturan bahwa semua kegiatan lalu-lintas perekonomian harus mendapat izinnya
dan melalui fasilitas pelabuhan di daerah yang diduduki Belanda. Ketegangan
antara Indonesia dengan Belanda kian memuncak ketika sebuah kapal perang AL
Belanda jenis penghancur bertorpedo ( JT/ jaeger torpedo) Hr.Ms. Banckert JT-1
berpatroli di sepanjang pantai barat Sumatera untuk mengontrol lalu-lintas
pelayaran disana antara tanggal 6 sampai 19 Mei 1947. Dengan alasan bahwa hukum
laut yang berlaku saat itu, adalah hukum laut teritorial Kolonial
Hindia-Belanda, Hr.Ms. Banckert bermaksud melakukan kegiatan pemeriksaan
terhadap semua kapal yang akan bongkar-muat di Pelabuhan Sibolga. Kapal perang
Belanda tersebut, kemudian memasuki perairan Teluk Sibolga pada tanggal 9 Mei
1947 untuk melakukan pemeriksaan terhadap kapal dagang Singapura MTS Sembilan.
Banckert berniat menarik kapal dagang itu ke Pelabuhan Padang (yang dikuasai
Belanda). Ternyata pada saat itu, di MTS Sembilan terdapat 2 personil ALRI yang
tengah bertugas melakukan pengamanan di kapal, yang kemudian dipaksa turun dan
dikembalikan ke Pelabuhan Sibolga dengan motor boat Belanda. Pelanggaran
perairan tersebut diprotes keras oleh Residen Tapanuli Dr. F.L. Tobing melalui
surat yang disampaikan oleh tim utusan (sejumlah perwira TKR) kepada Komandan
Kapal Hr.Ms. Banckert, Mayor G. Kondys. Isi surat tersebut meminta dengan
tegas, kapal perang Belanda agar meninggalkan perairan Sibolga karena melanggar
hasil Perjanjian Linggadjati. Protes tersebut awalnya, ditanggapi positif oleh
Banckert yang meninggalkan perairan Teluk Sibolga pada tanggal 10 Mei. Namun rupanya
itu hanya merupakan taktik pengelabuan Belanda saja untuk mengecoh perhatian
pihak Indonesia, yang saat itu telah bersiap-siaga penuh di sekitar Pelabuhan
Sibolga. Pukul 13.30 di hari yang sama, kapal perang Belanda tersebut kembali
memasuki perairan Sibolga, masih dengan alasan yang sama, yaitu hendak menyeret
kapal MTS Sembilan karena tidak memiliki izin dari Pemerintah Belanda (NICA).
Kehadiran Banckert –yang semula dikira menghormati protes
Residen Tapanuli- terpantau oleh Pos ALRI yang berkedudukan di Bukit Ketapang,
yang menghadap langsung ke Teluk Sibolga, dan segera melaporkannya ke Markas
ALRI Pangkalan A Sibolga. Saat yang bersamaan, secara kebetulan di Pangkalan A
tengah dilakukan upacara peresmian Pangkalan Besar dan Pangkalan A ALRI Sibolga
oleh Residen Tapanuli yang dihadiri sejumlah perwira TRI dan badan perjuangan.
Berita tersebut kontan mengejutkan, namun karena telah diantisipasi sebelumnya,
maka Pangkalan A segera memerintahkan seluruh pasukan untuk bersiaga penuh.
Beberapa penembak mahir ALRI segera menempati posnya di Bukit Ketapang, yang
hanya berjarak 1,5 mil dari posisi kapal MTS Sembilan, sedangkan perwira ALRI
dan tim negosiator yang ditugaskan untuk berunding dengan pihak Belanda segera
meluncur menggunakan motor-boat ke MTS Sembilan. Delegasi Indonesia terdiri
atas: Kapten Jetro Hutagalung, Letnan Sabar Hutagalung, Letnan Banggas Lumban
Tobing, Letnan Muda Sapiun Tanjung dan Letnan I Oswald Siahaan (Dan Kie II ALRI
Pangkalan A merangkap pimpinan motor-boat), sedangkan sebagai awak kapal adalah
Kopral ALRI Galung Silitonga dan Kopral ALRI Lambok Simatupang. Namun, karena
posisi Belanda lebih dekat dan lebih dahulu menurunkan motor-boat berisi
pasukan Mariniers dan Pelaut bersenjata lengkap, telah mendahului on-board di
MTS Sembilan. Sementara itu, di Banckert juga telah dipersiapkan sebuah
motor-boat yang dipimpin seorang perwira untuk melindungi pasukan mereka di
kapal niaga Singapura itu. Setelah kedua belah pihak bertemu di MTS Sembilan
dan perundingan baru saja akan dimulai, Banckert kembali menurunkan sebuah
motor-boat bersenjata. Naluri militer Letnan I Oswald Siahaan seketika
bergetar, karena tindakan Belanda itu mengancam keamanan delegasi Indonesia.
Seketika itu, ia memerintahkan seluruh delegasi agar segera turun ke motor-boat
dan selekasnya kembali ke pelabuhan. Dalam perjalanan, ternyata kedua
motor-boat Belanda mengejar motor-boat ALRI dan berusaha menjepitnya.
Motor-boat ALRI berhasil keluar dari jepitan musuh, namun tiba-tiba, komandan
motor-boat Belanda mengeluarkan perintah: “vuur (tembak)!” yang langsung
diikuti tembakan gencar dari mitraliur 20 mm dan Oerlikon ke arah motor-boat
ALRI. Melihat hal tersebut, satuan penembak mahir ALRI pimpinan Letnan Muda Ari
Poloan dibantu Seksi II Kompi II yang berkedudukan di Bukit Ketapang, kontan
melepaskan tembakan perlindungan dengan gencar ke kapal-kapal Belanda. Pasukan
Polisi Tentara Laut yang berkedudukan di pelabuhan juga turut membantu. Setelah
kontak senjata selama setengah jam, akhirnya kedua kapal Belanda bergerak
kembali ke Banckert. Akibat peristiwa tersebut, Kopral Galung Silitonga gugur
dan Kopral Lambok Simatupang terluka, sedangkan di pihak Belanda seorang sersan
penembak terluka parah, sementara seluruh delegasi perunding selamat. Peristiwa
kontak senjata tanggal 10 Mei tersebut, kemudian disikapi dengan menghimpun
seluruh kekuatan perjuangan di Tapanuli agar bersatu untuk mempertahankan
Pelabuhan Sibolga, pelabuhan samudera satu-satunya di Sumatera Utara yang masih
dikuasai RI. Strategi pertahanan segera disusun, termasuk menempatkan baterai-baterai
meriam anti tank dan kaliber 20 mm. Kekhawatiran Indonesia terbukti, karena
pada tanggal 11 Mei sore Hr.Ms. Banckert kembali memasuki perairan Teluk
Sibolga. Melalui perantara nahkoda kapal Pincalang yang ditahannya, Komandan
Kapal Belanda mengirim pesan agar pihak Indonesia menyerahkan awak kapal MTS
Sembilan yang berada di Sibolga. Pihak Indonesia menjawabnya dengan ultimatum,
yang isinya : ” SESUAI DENGAN NASKAH PERJANJIAN LINGGARJATI BAHWA NEGARA RI
SUDAH DIAKUI OLEH BELANDA, DAN PBB SECARA DE FACTO MAKA KEDUA BELAH PIHAK
KERAJAAN BELANDA DAN RI SUPAYA SALING HORMAT – MENGHORMATI, TIDAK BOLEH
MELANGGAR TERITORIAL KEDUA BELAH PIHAK. KARENA TELUK SIBOLGA ADALAH HAK
TERITORIAL RI DIMINTA AGAR KAPAL PERANG HRMS. Banckert JT – 1 SEGERA
MENINGGALKAN TELUK SIBOLGA DALAM TEMPO 1 X 24 JAM. BILA TIDAK DIINDAHKAN
KONSEKUENSINYA AKAN DIAMBIL TINDAKAN DENGAN GEMPURAN SENJATA, DENGAN BATAS
WAKTU SEBELUM JAM 10 WIB TANGGAL 12 MEI 1947.
Ultimatum tersebut tidak diindahkan Banckert hingga batas
waktu yaitu pukul 10.00 tanggal 12 Mei. Tembakan pertama dilepaskan oleh unit
meriam Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia) yang diikuti tembakan gencar
lainnya ke arah Banckert. Akhirnya, berkobarlah pertempuran sengit di Teluk
Sibolga. Dalam pertempuran tanggal 12 Mei itu, 4 anggota TRI (2 diantaranya
anggota ALRI) gugur yaitu Lettu Oswald Siahaan dan Kopral ALRI Zulkifli Tanjung
dan 2 terluka berat, sementara di pihak Belanda diperkirakan 5 personilnya
terluka parah.
Peristiwa Pertempuran Laut Teluk Sibolga ini menunjukkan semangat
perjuangan Bangsa Indonesia terkhusus masyarakat Sibolga dimata Belanda maupun
dunia Internsional bahwa Negara Republik Indonesia itu memang ada dan
perlu diakui eksistensinya oleh dunia Internasional. Namun, sebagai dampak dari
pertempuran ini adalah semakin berkurangnya frekuensi kunjungan kapal – kapal
dagang dari Singapura yang tentunya berpengaruh terhadap perekonomian daerah
setempat.
Sumber
: www.tnial.mil.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar