Kamis, 27 Juni 2013

KRI Oswald Siahaan (354)



KRI Oswald Siahaan (354) merupakan Perusak Kawal Berpeluru Kendali. Dinamai Oswald Siahaan  mengambil nama dari seorang anggota TNI AL yang gugur pada saat pertempuran Teluk Sibolga..
KRI Oswald Siahaan merupakan kapal fregat bekas pakai AL Belanda (HMNLS Isaac Sweers F805) yang kemudian dibeli oleh  Indonesia. Dibangun tahun 1967 oleh Nederlandse Dok en Scheepsbouw Mij, Amsterdam, Belanda.
Bertugas sebagai armada patroli sekaligus armada pemukul dengan kemampuan anti kapal permukaan, anti kapal selam dan anti pesawat udara.
Termasuk dalam kelas Ahmad Yani bersama KRI Oswald Siahaan antara lain KRI Ahmad Yani (351), KRI Slamet Riyadi (352), KRI Yos Sudarso (353) KRI Abdul Halim Perdana Kusuma (355) dan KRI Karel Satsuit Tubun (356).
Data Teknis
KRI Oswald Siahaan memiliki berat 2,940 ton. Dengan dimensi 113,42 meter x 12,51 meter x 4,57 meter. Ditenagai oleh mesin diesel 2 x SEMT Pielstick 12PA6B, Renk SWUF 98 gearboxes yang mampu menghasilkan tenaga 11800hp setiap mesinnya. Repowering mesin dilakukan pada tahun 2006 oleh PT PAL untuk menggantikan tenaga mesinnya yang semula menggunakan mesin boiler.
Persenjataan
KRI Oswald Siahaan dipersenjatai dengan berbagai jenis persenjataan modern untuk mengawal wilayah kedaulatan RI Termasuk diantaranya adalah :
  1. 4 Peluru Kemdali Permukaan-ke-permukaan P-800 Oniks atau dikenal dengan rudal Yakhont dengan jangkauan maksimum 300 Km , berkecepatan 2,5 mach, dengan sistem peluncur vertikal (VLS) dengan hulu ledak seberat 300 Kg.
  2. 4 Peluru kendali permukaan-ke-udara Mistral dalam peluncur Simbad laras ganda sebagai pertahanan anti serangan udara. Jangkauan efektif 4 Km (2,2 mil laut), berpemandu infra merah dengan hulu ledak 3 Kg. Berkemampuan anti pesawat udara, helikopter dan rudal.
  3. 1 Meriam OTO-Melara 76/62 compact berkaliber 76mm (3 inchi) dengan kecepatan tembakan 85 rpm, jangkauan 16 Km untuk target permukaan dan 12 Km untuk target udara.
  4. 2 Senapan mesin 12.7mm
  5. 12 Torpedo Honeywell Mk. 46, berpeluncur tabung Mk. 32 (324mm, 3 tabung) dengan jangkauan 11 Km kecepatan 40 knot dan hulu ledak 44 kg. Berkemampuan anti kapal selam dan kapal permukaan.
Sensor dan elektronis
KRI Oswald Siahaan diperlengkapi  radar  LW-03 2-D air search, sonar PHS-32. Juga diperlengkapi dengan kontrol penembakan (fire control) M-44 SAM control serta perangkat perang elektronik UA-8/9 intercept. Sebagai pertahanan diri mempunyai 2 peluncur decoy RL.

SEJARAH GUGURNYA OSWALD SIAHAAN DALAM PERTEMPURAN DI TELUK SIBOLGA. 
Setelah menerima peralihan kendali keamanan di Indonesia dari Sekutu (Inggris), Belanda kemudian membentuk Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda (NICA/ Netherlands Indie Civil Administration). NICA menempuh dua jalur kebijakan di Indonesia, yaitu diplomatik dan militer. Di jalur diplomatik, NICA menggelar perundingan Linggadjati (10-15 November 1946), dimana salah satu klausulnya Belanda mengakui wilayah kedaulatan Indonesia yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera dan Madura. Walau secara de jure Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia, namun faktanya kekuatan militernya masih bertahan di Jawa, Sumatera dan Madura, serta sering melakukan tindakan provokasi. Tidak hanya itu, di beberapa daerah Belanda kerap melakukan aksi intervensi di wilayah Republik Indonesia, yang antara lain terjadi di perairan Teluk Sibolga. Sementara itu di sisi lain, di pihak Indonesia pun banyak kalangan yang tidak menyetujui hasil Perjanjian Linggadjati yang dinilai sebagai pengingkaran terhadap bentuk Negara Kesatuan RI, yang telah disepakati meliputi seluruh wilayah ex-Hindia-Belanda. Sikap pro-kontra yang terjadi di kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, pada akhirnya berbuntut agresi militer pada bulan Juli 1947 yang dilancarkan oleh militer Belanda. Insiden pelanggaran wilayah kedaulatan RI di perairan Teluk Sibolga oleh kapal perang AL Kerajaan Belanda, sesungguhnya dilandasi oleh kebijakan Belanda untuk melemahkan kekuatan sosial, politik, ekonomi dan militer Indonesia. Untuk itulah, Belanda melakukan blokade di laut, darat dan udara, serta mengintimidasi dan menghalangi berbagai arus lalu-lintas perekonomian yang menuju atau bertolak dari Indonesia ke luar-negeri. Belanda menerapkan peraturan bahwa semua kegiatan lalu-lintas perekonomian harus mendapat izinnya dan melalui fasilitas pelabuhan di daerah yang diduduki Belanda. Ketegangan antara Indonesia dengan Belanda kian memuncak ketika sebuah kapal perang AL Belanda jenis penghancur bertorpedo ( JT/ jaeger torpedo) Hr.Ms. Banckert JT-1 berpatroli di sepanjang pantai barat Sumatera untuk mengontrol lalu-lintas pelayaran disana antara tanggal 6 sampai 19 Mei 1947. Dengan alasan bahwa hukum laut yang berlaku saat itu, adalah hukum laut teritorial Kolonial Hindia-Belanda, Hr.Ms. Banckert bermaksud melakukan kegiatan pemeriksaan terhadap semua kapal yang akan bongkar-muat di Pelabuhan Sibolga. Kapal perang Belanda tersebut, kemudian memasuki perairan Teluk Sibolga pada tanggal 9 Mei 1947 untuk melakukan pemeriksaan terhadap kapal dagang Singapura MTS Sembilan. Banckert berniat menarik kapal dagang itu ke Pelabuhan Padang (yang dikuasai Belanda). Ternyata pada saat itu, di MTS Sembilan terdapat 2 personil ALRI yang tengah bertugas melakukan pengamanan di kapal, yang kemudian dipaksa turun dan dikembalikan ke Pelabuhan Sibolga dengan motor boat Belanda. Pelanggaran perairan tersebut diprotes keras oleh Residen Tapanuli Dr. F.L. Tobing melalui surat yang disampaikan oleh tim utusan (sejumlah perwira TKR) kepada Komandan Kapal Hr.Ms. Banckert, Mayor G. Kondys. Isi surat tersebut meminta dengan tegas, kapal perang Belanda agar meninggalkan perairan Sibolga karena melanggar hasil Perjanjian Linggadjati. Protes tersebut awalnya, ditanggapi positif oleh Banckert yang meninggalkan perairan Teluk Sibolga pada tanggal 10 Mei. Namun rupanya itu hanya merupakan taktik pengelabuan Belanda saja untuk mengecoh perhatian pihak Indonesia, yang saat itu telah bersiap-siaga penuh di sekitar Pelabuhan Sibolga. Pukul 13.30 di hari yang sama, kapal perang Belanda tersebut kembali memasuki perairan Sibolga, masih dengan alasan yang sama, yaitu hendak menyeret kapal MTS Sembilan karena tidak memiliki izin dari Pemerintah Belanda (NICA).
Kehadiran Banckert –yang semula dikira menghormati protes Residen Tapanuli- terpantau oleh Pos ALRI yang berkedudukan di Bukit Ketapang, yang menghadap langsung ke Teluk Sibolga, dan segera melaporkannya ke Markas ALRI Pangkalan A Sibolga. Saat yang bersamaan, secara kebetulan di Pangkalan A tengah dilakukan upacara peresmian Pangkalan Besar dan Pangkalan A ALRI Sibolga oleh Residen Tapanuli yang dihadiri sejumlah perwira TRI dan badan perjuangan. Berita tersebut kontan mengejutkan, namun karena telah diantisipasi sebelumnya, maka Pangkalan A segera memerintahkan seluruh pasukan untuk bersiaga penuh. Beberapa penembak mahir ALRI segera menempati posnya di Bukit Ketapang, yang hanya berjarak 1,5 mil dari posisi kapal MTS Sembilan, sedangkan perwira ALRI dan tim negosiator yang ditugaskan untuk berunding dengan pihak Belanda segera meluncur menggunakan motor-boat ke MTS Sembilan. Delegasi Indonesia terdiri atas: Kapten Jetro Hutagalung, Letnan Sabar Hutagalung, Letnan Banggas Lumban Tobing, Letnan Muda Sapiun Tanjung dan Letnan I Oswald Siahaan (Dan Kie II ALRI Pangkalan A merangkap pimpinan motor-boat), sedangkan sebagai awak kapal adalah Kopral ALRI Galung Silitonga dan Kopral ALRI Lambok Simatupang. Namun, karena posisi Belanda lebih dekat dan lebih dahulu menurunkan motor-boat berisi pasukan Mariniers dan Pelaut bersenjata lengkap, telah mendahului on-board di MTS Sembilan. Sementara itu, di Banckert juga telah dipersiapkan sebuah motor-boat yang dipimpin seorang perwira untuk melindungi pasukan mereka di kapal niaga Singapura itu. Setelah kedua belah pihak bertemu di MTS Sembilan dan perundingan baru saja akan dimulai, Banckert kembali menurunkan sebuah motor-boat bersenjata. Naluri militer Letnan I Oswald Siahaan seketika bergetar, karena tindakan Belanda itu mengancam keamanan delegasi Indonesia. Seketika itu, ia memerintahkan seluruh delegasi agar segera turun ke motor-boat dan selekasnya kembali ke pelabuhan. Dalam perjalanan, ternyata kedua motor-boat Belanda mengejar motor-boat ALRI dan berusaha menjepitnya. Motor-boat ALRI berhasil keluar dari jepitan musuh, namun tiba-tiba, komandan motor-boat Belanda mengeluarkan perintah: “vuur (tembak)!” yang langsung diikuti tembakan gencar dari mitraliur 20 mm dan Oerlikon ke arah motor-boat ALRI. Melihat hal tersebut, satuan penembak mahir ALRI pimpinan Letnan Muda Ari Poloan dibantu Seksi II Kompi II yang berkedudukan di Bukit Ketapang, kontan melepaskan tembakan perlindungan dengan gencar ke kapal-kapal Belanda. Pasukan Polisi Tentara Laut yang berkedudukan di pelabuhan juga turut membantu. Setelah kontak senjata selama setengah jam, akhirnya kedua kapal Belanda bergerak kembali ke Banckert. Akibat peristiwa tersebut, Kopral Galung Silitonga gugur dan Kopral Lambok Simatupang terluka, sedangkan di pihak Belanda seorang sersan penembak terluka parah, sementara seluruh delegasi perunding selamat. Peristiwa kontak senjata tanggal 10 Mei tersebut, kemudian disikapi dengan menghimpun seluruh kekuatan perjuangan di Tapanuli agar bersatu untuk mempertahankan Pelabuhan Sibolga, pelabuhan samudera satu-satunya di Sumatera Utara yang masih dikuasai RI. Strategi pertahanan segera disusun, termasuk menempatkan baterai-baterai meriam anti tank dan kaliber 20 mm. Kekhawatiran Indonesia terbukti, karena pada tanggal 11 Mei sore Hr.Ms. Banckert kembali memasuki perairan Teluk Sibolga. Melalui perantara nahkoda kapal Pincalang yang ditahannya, Komandan Kapal Belanda mengirim pesan agar pihak Indonesia menyerahkan awak kapal MTS Sembilan yang berada di Sibolga. Pihak Indonesia menjawabnya dengan ultimatum, yang isinya : ” SESUAI DENGAN NASKAH PERJANJIAN LINGGARJATI BAHWA NEGARA RI SUDAH DIAKUI OLEH BELANDA, DAN PBB SECARA DE FACTO MAKA KEDUA BELAH PIHAK KERAJAAN BELANDA DAN RI SUPAYA SALING HORMAT – MENGHORMATI, TIDAK BOLEH MELANGGAR TERITORIAL KEDUA BELAH PIHAK. KARENA TELUK SIBOLGA ADALAH HAK TERITORIAL RI DIMINTA AGAR KAPAL PERANG HRMS. Banckert JT – 1 SEGERA MENINGGALKAN TELUK SIBOLGA DALAM TEMPO 1 X 24 JAM. BILA TIDAK DIINDAHKAN  KONSEKUENSINYA AKAN DIAMBIL TINDAKAN DENGAN GEMPURAN SENJATA, DENGAN BATAS WAKTU SEBELUM JAM 10 WIB TANGGAL 12 MEI 1947.
Ultimatum tersebut tidak diindahkan Banckert hingga batas waktu yaitu pukul 10.00 tanggal 12 Mei. Tembakan pertama dilepaskan oleh unit meriam Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia) yang diikuti tembakan gencar lainnya ke arah Banckert. Akhirnya, berkobarlah pertempuran sengit di Teluk Sibolga. Dalam pertempuran tanggal 12 Mei itu, 4 anggota TRI (2 diantaranya anggota ALRI) gugur yaitu Lettu Oswald Siahaan dan Kopral ALRI Zulkifli Tanjung dan 2 terluka berat, sementara di pihak Belanda diperkirakan 5 personilnya terluka parah.
Peristiwa Pertempuran Laut Teluk Sibolga ini menunjukkan semangat perjuangan Bangsa Indonesia terkhusus masyarakat Sibolga dimata Belanda maupun dunia Internsional  bahwa Negara Republik Indonesia itu memang ada dan perlu diakui eksistensinya oleh dunia Internasional. Namun, sebagai dampak dari pertempuran ini adalah semakin berkurangnya frekuensi kunjungan kapal – kapal dagang dari Singapura yang tentunya berpengaruh terhadap perekonomian daerah setempat.

Sumber : www.tnial.mil.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar